Minggu, 07 Maret 2010

Posting Ular Tangga

Pagi
Ketika saya mulai membuka email
saya tertarik untuk membaca postingan teman saya
yang berjudul "Ular Tangga".
Saya merenungkan semua tulisannya...

"Ular dan lemparan dadu"

Ketika saya pulang di sebuah senja, saya masih melihatnya
duduk di sana. Seorang wanita empat puluhan duduk dalam
kiosnya di tepi seruas jalan di kotaku yang telah ribuan
kali kulewati. Puluhan tahun yang lalu ketika usia saya
masih belum genap sembilan tahun, kios itu sudah ada
disana. Menjajakan majalah, koran, dan sejumlah barang
kelontong. Ketika itu mobil kami berhenti di depan kiosnya dan wanita
itu datang menghampiri membawa apa yang biasanya kami
inginkan, majalah Ananda dan Bobo buat saya serta majalah
Tempo dan Intisari untuk ayah. Demikian terjadi sepekan
sekali sepulang sekolah selama bertahun-tahun hingga tiba
saatnya saya beranjak remaja dan berganti selera baca,
saya tak lagi menemui wanita itu.
Sekonyong- konyong di senja itu, tatapan mata saya ke luar
angkot yang tengah membawa saya pulang ke rumah, menyapu
kios itu dan wanita yang sama di dalamnya. Bedanya, kali
ini ia tak lagi menjajakan koran dan majalah. Hanya rokok,
minuman cola, air mineral, dan sejumlah barang lain.
Apakah itu semacam kemunduran perniagaan, saya tak tahu
persis. Yang tampak jelas bagi sel-sel kelabu saya adalah
kenyataan bahwa ia, untuk menafkahi hidupnya, masih saja
duduk di tempat yang sama, setelah lewat bertahun-tahun.
Suatu sore lain dalam sebuah gerbong kereta yang saya tumpangi,
saya menatap puluhan gubuk dan rumah petak di
sepanjang lintasan rel yang menuju stasiun Senen.
Benak saya digelayuti iba dan juga pertanyaan.
Sejumlah gerobak mie ayam melintas di jendela dengan cepat.
Apa yang begitumenarik dari kota ini, begitu pertanyaan saya, sehingga mereka sanggup bertahan dalam kepapaannya di tengah gemuruh Jakarta yang keras.
Apakah itu nasib? Adakah nasibyang membuat Ibu penjaja koran yang tinggal di Semarang dan mereka yang tinggal di kompleks kumuh Jakarta tetap bertahan di sana?
Bagaimana bisa kita memahami nasib? Saya tak bisa.
Tetapi keponakan saya yang berumur lima tahun punya petunjuknya.
Saat itu saya sedang bermain berdua dengannya: Ular- Tangga.
Setelah beberapa lama bermain dan bosan mulai merambati benak,
saya meraih surat kabar dan mulaimembaca- baca. Nanda, keponakan saya itu, kemudian berkata,"Ayo jalan! Gililan Om. Kalo nggak jalan juga, Om bakal nggak naik-naik, di situ telus, dan mainnya nggak selesai- selesai."
Saya tersadar. Ular-Tangga, permainan semasa kita kanak-kanak, adalah contoh yang bagus tentang permainan nasib manusia. Ada petak-petak yang harus dilewati.
Ada Tangga yang akanmembawa kita naik ke petak yang lebih tinggi.
Ada Ularyang akan membuat kita turun ke petak di bawahnya.
Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga.
Ada papan yang bernama kuliah. Ada papan yangbernama karir.
Suka atau tidak dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melangkah.
Atau ia terus saja ada di petak itu.
Suka tak suka, setiap orangharus mengocok dan melempar dadunya.
Dan sebatas itulah ikhtiar manusia: melempar dadu (dan memprediksi hasilnya dengan teori peluang). Hasil akhirnya, berapa jumlahanyang keluar, adalah mutlak kuasa Tuhan.
Apakah Ular yangakan kita temui, ataukah Tangga, Allah-lah yang mengatur.
Dan disitulah nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas melempardadu.
Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu.
Mereka yang malang itu, terus sajaada di sana.
Menerima keadaan sebagai Nasib, tanpa pernah melempar dadu.
Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak kemana-mana.
Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernahmenyelesaikan permainannya.
Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali.
Optimislah bahwa di antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga.
Beda antara orang yang optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal,
Si Pesimis menemukan kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.

Dikutip dari "Sang Dadu" oleh Edy Pratolo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar